Kamis, 13 Maret 2008

Bang Bokir dan Imaji Citra


Sejak seminggu lalu kata"bang Bokir" tak lagi asing di telingaku. "Bang Bokir lagi ngapain?" ujar salah seorang temanku, diikuti suara cekikikan panjang. Pikirku, kurang ajar! Mentang-mentang aku lagi horny dengan film Suzzanna. Tetapi mengapa aku diidentikkan dengan sosok tonggos kocak itu ? Atau temenku itu cuma mendasarkan"Mas Agip suka Suzzanna, Tokoh cowok di Film Suzzanna Bokir kecut, kayaknya kocak kalo buat guyonan..." Alasan kedekatan gender dan lucu-lucuan. Perjalanan hidupku mengkonvert aku menjadi sosok yang jauh dari ideal untuk parameter anak muda gaul zaman sekarang. Anak muda yang terjebak pada kenaifan dan idealisme semu-generasi serba ikut-ikutan. Bertingkah dan bergaya laiknya paham akan suatu arus pemikiran, namun kosong dalam makna. Kaya akan simbol, miskin akan arti, Bahkan berani-beraninya mereka memberi pemaknaan sendiri pada suatu simbol. Aku hanya tertawa melihat itu semua. Bukan karena aku iri tidak bisa seperti mereka, tapi aku membayangkan aku ada di posisi mereka. Terperdaya oleh mata, jatuh cinta karena balutan citra, dan meniru. "Ih keren nih gaya". Aku ingat saat sebuah majalah yang mengusung gaya hidup anak muda dengan entengnya memajang etalase wardrobe a la rasta dengan model berkulit mulus, memakai bedak tipis, dan yang bikin aku berkrenyat, harga yang ditawarkan untuk satu potong baju tertulis 'cuma' Rp569.000,00. Wei... bukankah arus pemikiran Rastamania itu pendobrak kemapanan? Anti Kapitalisme dan turunannya?

Temanku yang lain pernah berujar,"Kalo kamu suka, tiru aja, ga peduli kata orang, kamu adalah apa yang kamu pikirkan." Aku adalah aku, pemikiranku adalah hasil olahan otakku dalam merespon yang terserak. Aku bukan orang yang kritis, tetapi aku punya pagar diri yang terbentuk dari prasangkaku pada hal asing. Tidak semudah itu aku memposisikan diri. Apalagi hanya karena imaji kosong. Aku salut pada seorang temanku yang dengan tegas berani konsisten pada pilihan hidupnya. "Aku ga butuh orang lain, aku bisa eksis tanpa apapun kok!".Tentu 'ga butuh' dalam konteks ini adalah cara dia bersikap dan bertindak. And she proves it! Independensinya begitu keliatan saat ada hal yang ga cocok di benaknya, ia berekspesi, mengkritisi, dan bertindak. Nggak asal mengiyakan satir. Diriku? Aku masih mencari di pijakan. Okelah, aku makhluk beragama, Apkah agama berusaha mengkonvertkan segala perbedaan dan keragaman umat Tuhan? Buat apa Tuhan menciptakan kita-manusia-beraneka ragam? Rasul ciptaan-Nya pun punya cara dan tabiat tersendiri dalam mensyiarkan suara Tuhan. Atau lebih baik-kembali lagi-aku adalah aku. Idealismeku adalah Ideologiku.

Aku samasekali tidak keberatan dibilang bang Bokir. Sumpah. Aku malah bisa menggali hal yang bersemayam dalam dirinya, yang sebagian besar orang menganggapnya Nggak banget. Apa yang aneh dengannya? Ia telaten dan total dalam pekerjaannya. Ia menghidupi keluarga dengan caranya. Ia berhasil menggiring khalayak film membeli tiket ke bioskop. Ia rela menanggung malu (ia mengakuinya) menjadi banci dalam film Betty Bencong Menor. Mungkin terlalu banyak makhluk yang memandang Bokir sebagai pelawak kampungan zaman imperium Suzzanna bercokol, tapi tahukah bahwa Bokir bin Dji'un adalah segelintir pelestari intens kesenian topeng Betawi yang hampir punah? Aku sendiri tidak tahu Topeng Betawi seperti apa. Atau zaman sekarang-pasca Bokir wafat-kesenian itu sudah musnah? Sumpah, BOKIR itu KEREN! He worked! He did it!

Aku ingin mengimajikan Bokir sebagai sosok yang keren, aku suka membalikkan persepsi suara mayoritas. Bahwa yang berbeda dengan selera mainstream itu tidak selalu norak!

2 komentar:

ala'vina mengatakan...

Hebat,,,,
Kata-katamu menusuk hati, penuh makna dan mengena. Kok kemarin minder gitu dengan tulisanmu?! Padahal aku kalah jauh.
Sungguh,,,
Pemikiranmu yang 'berbeda' sangat aku hargai. Selama ini, saat menertawakan dirimu 'Bang Bokir', detik itu juga, aku menertawakan diriku sendiri yang teracuni 'idealisme semu-generasi serba ikut-ikutan'.
Teruskan perjuanganmu!!!

ideoblogger mengatakan...

Tulisannya penuh dengan emosi yang diramu dengan kata-kata paradoks dan ambivalensi. menjiwai banget...
Aku baru sadar inilah Ajip!!!!Orang yang kan menusuk-nusuk terutama bagi mereka yang tidak sejalur dengannya (*agak sedikit berbeda dengan apa yang tampil dalam bentuk gestur).
Satu hal yang pasti: Tulisannya reflektif banget dengan ramuan kejadian sehari-hari.