"Seandainya saya seorang kulit putih,
pasti polisi distrik itu tidak akan menangkap saya"
pasti polisi distrik itu tidak akan menangkap saya"
(Curahan hati seorang pengemudi Yellow Taxi-New York dalam salah satu episode Oprah Winfrey Show)
Akar rasisme masih mengakar pada otak modern makhluk bumi. Termasuk dalam sebuah negara pengusung demokrasi dan HAM nomor wahid. Kekonyolan yang tidak berdasar dalam memperlakukan orang: Prasangka. Tampilan diri adalah citraan yang paling pertama ditangkap indera manusia. Sayangnya, justru yang paling awal pula yang berhasil direspon oleh otak. Tak bisa disangkal, selera menentukan pilihan. Fungsi otak untuk mengambil keputusan menjadi budak nyonya selera. Identikkah dengan lelaki yang selalu menjadi budak wanita? Hmm..tidak percaya? Mengambil contoh istri yang termajinalkan dalam dunia lelaki? Bahkan seorang suami brandal pun-secara visual maupun alam bawah sadar diperbudak oleh wanita. Ambil contoh, si wanita penghibur Matahari. Seorang wanita penghibur peluluh hati pria yang karena kemolekan raganya, secara tidak langsung menjadi mata-mata perang. Ok. Manusia tidak dapat dikatakan manusia yang sepenuhnya cerdas. Manusia yang mengakalkan segala sesuatu dengan murni. Manusia yang selalu mencarim pembenaran atas apa yang telah diludahkan walaupun dirinya tahu pasca bertindak, dirinya salah! Semua karena ego, emosi keakuan.
Tak terkecuali bagi aku-si anak yang membuat orang berpicing. Merasa dipojokkan lewat sudut mata? Atau disepelekan lewat siasat yang cerdik? Aku pernah mengalami itu semua. Saat paradigma manusia terjebak dalam tampilan fisik, sang objek hanya dapat menerimanya dengan pasrah. Mengapa? Prasangka adalah aliran bawah tanah, sebuah arus kuat yang tidak tampak-bukan hal yang bersifat fisik. Sedangkan sebuah perlawanan harus diwujudkan lewat tindakan fisik. Aksi-reaksi harus merupakan besaran yang sejenis. Maka mustahil bagi objek untuk melawan. Sesuai katanya pun objek hanya merupakan hal 'hal yang di...'. Aku hanya bisa berpikir, menganalisis kecil tentang hal yang 'mereka' perbuat padaku.
Hal pertama yang muncul di kepalaku adalah pertanyaan "Mengapa mereka memposisikan aku di tempat yang tidak terjamah keakraban?"Aku hanya berusaha menjadi diriku. Sebagaimana mereka yang berdiri pada jatidiri mereka sendiri. Mereka yang hobi dugem. Mereka yang tidak lepas dari air wudu, mereka yang selalu tersenyum ketika ada komik baru. Dunia berputar cepat. Aku sadar, selera dunia juga terus berubah. Ketika manusia seumurku disuguhi hal-hal baru yang sesuai jiwa muda, terbentuk suatu selera mayoritas yang mereka anggap "keren". Kebalikannya mulai ditinggalkan bahkan dianggap "nggak(banget)". Dan hal dini termudah untuk menginternalisasikan "keren" tersebut adalah dengan imitasi. Aku jelas tidak termasuk golongan "keren". Golongan ini merebut hati manusia kontemporer. Termasuk dalam hal pertemanan. Keakraban sangat mudah diraih. Bahkan sejak pertama bertemu. Ya, tentu kembali lagi selera yang telah termayoritaskan paradigma.
Memang benar aku nggak banget! Dan malangnya aku harus hidup pada golongan yang paradigmanya telah termayoritaskan. Selera yang tergeneralkan. Manusia adalah makhluk sosial. Kata guru SDku terbukti benar. Aku juga butuh teman. Teman yang akrab. Sayangnya, sedikit makhluk ideal itu. Makhluk yang mampu meredam selera, berteman berdasarkan kebutuhan rasa, bukan materi. Teman yang tidak melulu mencari persamaan dirinya denganku, laiknya anak kecil yang mencoba memasang puzzle ke letak yang benar. Aku tertarik saat seorang teman (segelintir) membicarakan tentang arti teman menurut manusia Indonesia dan manusia Srilangka. Indonesia membagi friend menjadi teman dan sahabat. Sedangkan Srilangka mendefinisikan satu teman yaitu mereka yang saling bergantung, saling berbagi, saling memahami, menutupi kekurangan masing-masing, dan intens. Bagi kita, manusia yang disatukan oleh satu forum-kelas mungkin- sudah bisa dianggap sebagai teman. Tidak peduli apakah satu sama lain berinteraksi setiap hari atau hanya berinteraksi saat minta maaf ketiak tersenggol saja.
Aku ingat saat seorang temanku (pengertian Indonesia) berkata padaku pada sebuah kesempatan: "Kalau IP bagus bisa juga bikin karya begini ga?" sambil matanya melirik kepadaku di sela tugasnya membuat rancangan layout mading fotografi. Mereka telah jauh memposisikan aku dengan segala tampilan fisik dan atributku. Mereka menganggap anak gagap nan buruk rupa sepertiku tidak layak mendapat anugerah berupa IP yang-alhamdu lillah-memuaskan. Mereka selalu mencari alasan yang tepat dalam memojokkanku. Bagaimana sebuah IP bagus diraih seorang mahasiswa bergestur idiot. "Ih Agip pasti setiap hari baca buku ya? Belajar terus ya? Apa ga tidur semaleman?Pasti belajar ya? Ih, pasti kamu tahu karena beli koran terus kan? Kamu serius bener, makanya jangan belajar terus.. Sepertinya mustahil bagiku dari sudut pandang mereka untuk aku mendapat IP bagus tanpa BELAJAR. Kenyataanya? Aku jago tidur! Tidak pernah buka buku kecuali malam sebelum ujian. Lagipula buat apa aku belajar kalau soal yang keluar berbentuk pengembangan? Samasekali bukan bentuk hafalan? Masuk akal kan?
Mereka sendiri ingin membuktikan "Aku anak hura-hura loh..Anti belajar .Smart..Cantik..Ganteng..Gaul..Ideal...Intelek..Selerapasar...Kosmopolit..Logis...Mandiri...Interpreneur...Kreatif...Aplikatif...Suka praktek, Sori sori aja kalo suruh makan teori..."
Aku memang belum dewasa, seperti juga mereka. Aku butuh "teman", sebagaimana mereka. Ah, sudahlah. Aku sedang belajar hidup. Aku harus banyak menyesuaikan diri dengan mayoritas. Walau ini teramat sering kulakukan. Mau tak mau. Bukan berarti aku kalah dengan diriku sendiri, Bukan aku belajar menjadi orang lain, aku hanya ingin menjadi bagian dari lingkungan sosialku. Bagaimana aku dapat diterima, menjadi kawan seseorang dari kaum mayoritas, aku masih belum tahu. Yang jelas aku tidak mau memformat ulang otakku! Sekali lagi aku adalah aku!
Tak terkecuali bagi aku-si anak yang membuat orang berpicing. Merasa dipojokkan lewat sudut mata? Atau disepelekan lewat siasat yang cerdik? Aku pernah mengalami itu semua. Saat paradigma manusia terjebak dalam tampilan fisik, sang objek hanya dapat menerimanya dengan pasrah. Mengapa? Prasangka adalah aliran bawah tanah, sebuah arus kuat yang tidak tampak-bukan hal yang bersifat fisik. Sedangkan sebuah perlawanan harus diwujudkan lewat tindakan fisik. Aksi-reaksi harus merupakan besaran yang sejenis. Maka mustahil bagi objek untuk melawan. Sesuai katanya pun objek hanya merupakan hal 'hal yang di...'. Aku hanya bisa berpikir, menganalisis kecil tentang hal yang 'mereka' perbuat padaku.
Hal pertama yang muncul di kepalaku adalah pertanyaan "Mengapa mereka memposisikan aku di tempat yang tidak terjamah keakraban?"Aku hanya berusaha menjadi diriku. Sebagaimana mereka yang berdiri pada jatidiri mereka sendiri. Mereka yang hobi dugem. Mereka yang tidak lepas dari air wudu, mereka yang selalu tersenyum ketika ada komik baru. Dunia berputar cepat. Aku sadar, selera dunia juga terus berubah. Ketika manusia seumurku disuguhi hal-hal baru yang sesuai jiwa muda, terbentuk suatu selera mayoritas yang mereka anggap "keren". Kebalikannya mulai ditinggalkan bahkan dianggap "nggak(banget)". Dan hal dini termudah untuk menginternalisasikan "keren" tersebut adalah dengan imitasi. Aku jelas tidak termasuk golongan "keren". Golongan ini merebut hati manusia kontemporer. Termasuk dalam hal pertemanan. Keakraban sangat mudah diraih. Bahkan sejak pertama bertemu. Ya, tentu kembali lagi selera yang telah termayoritaskan paradigma.
Memang benar aku nggak banget! Dan malangnya aku harus hidup pada golongan yang paradigmanya telah termayoritaskan. Selera yang tergeneralkan. Manusia adalah makhluk sosial. Kata guru SDku terbukti benar. Aku juga butuh teman. Teman yang akrab. Sayangnya, sedikit makhluk ideal itu. Makhluk yang mampu meredam selera, berteman berdasarkan kebutuhan rasa, bukan materi. Teman yang tidak melulu mencari persamaan dirinya denganku, laiknya anak kecil yang mencoba memasang puzzle ke letak yang benar. Aku tertarik saat seorang teman (segelintir) membicarakan tentang arti teman menurut manusia Indonesia dan manusia Srilangka. Indonesia membagi friend menjadi teman dan sahabat. Sedangkan Srilangka mendefinisikan satu teman yaitu mereka yang saling bergantung, saling berbagi, saling memahami, menutupi kekurangan masing-masing, dan intens. Bagi kita, manusia yang disatukan oleh satu forum-kelas mungkin- sudah bisa dianggap sebagai teman. Tidak peduli apakah satu sama lain berinteraksi setiap hari atau hanya berinteraksi saat minta maaf ketiak tersenggol saja.
Aku ingat saat seorang temanku (pengertian Indonesia) berkata padaku pada sebuah kesempatan: "Kalau IP bagus bisa juga bikin karya begini ga?" sambil matanya melirik kepadaku di sela tugasnya membuat rancangan layout mading fotografi. Mereka telah jauh memposisikan aku dengan segala tampilan fisik dan atributku. Mereka menganggap anak gagap nan buruk rupa sepertiku tidak layak mendapat anugerah berupa IP yang-alhamdu lillah-memuaskan. Mereka selalu mencari alasan yang tepat dalam memojokkanku. Bagaimana sebuah IP bagus diraih seorang mahasiswa bergestur idiot. "Ih Agip pasti setiap hari baca buku ya? Belajar terus ya? Apa ga tidur semaleman?Pasti belajar ya? Ih, pasti kamu tahu karena beli koran terus kan? Kamu serius bener, makanya jangan belajar terus.. Sepertinya mustahil bagiku dari sudut pandang mereka untuk aku mendapat IP bagus tanpa BELAJAR. Kenyataanya? Aku jago tidur! Tidak pernah buka buku kecuali malam sebelum ujian. Lagipula buat apa aku belajar kalau soal yang keluar berbentuk pengembangan? Samasekali bukan bentuk hafalan? Masuk akal kan?
Mereka sendiri ingin membuktikan "Aku anak hura-hura loh..Anti belajar .Smart..Cantik..Ganteng..Gaul..Ideal...Intelek..Selerapasar...Kosmopolit..Logis...Mandiri...Interpreneur...Kreatif...Aplikatif...Suka praktek, Sori sori aja kalo suruh makan teori..."
Aku memang belum dewasa, seperti juga mereka. Aku butuh "teman", sebagaimana mereka. Ah, sudahlah. Aku sedang belajar hidup. Aku harus banyak menyesuaikan diri dengan mayoritas. Walau ini teramat sering kulakukan. Mau tak mau. Bukan berarti aku kalah dengan diriku sendiri, Bukan aku belajar menjadi orang lain, aku hanya ingin menjadi bagian dari lingkungan sosialku. Bagaimana aku dapat diterima, menjadi kawan seseorang dari kaum mayoritas, aku masih belum tahu. Yang jelas aku tidak mau memformat ulang otakku! Sekali lagi aku adalah aku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar