Jumat, 04 April 2008

Kecenderungannya Kok Mereka?

Bukannya aku SARA, tapi aku mau mengatakan apa yang aku alami.

Mengapa ya proporsi terbesar dari suatu komunitas (bukan komunitas berbadan hukum/resmi) yang meremehkanku (lebih tepatnya lewat kata-kata bergaya inosen) kebanyakan orang dari komunitas SARA "Z"?, parahnya tanpa kuminta sering mengasosiasikan keanehanku dengan agama yang aku anut. Kentara sekali lewat pertanyaan yang mereka ajukan. Nggak ada topik lain yang pantas dibicarakan apa?(Atau aku salah asosiasi? Semoga)(Maaf teman-temanku yang berbeda agama, semoga bukan kalian yang aku maksud)

Takkan kutulis detilnya di sini. Aku adalah penganut Islam yang tidak taat (dibandingkan mereka yang tidak sholat) tapi aku yakin kebenaran esensi agama yang aku anut. Semuanya memang berawal dari tanda tanya atas ritual harian yang aku kerjakan. Buat apa? Jawaban demi jawaban logis aku dapatkan setelah aku bertanya, membaca, dan menggunakan sedikit kemampuan otakku dalam memahaminya. Ternyata agamaku tuh indah! BENAR menurutku.

Aku sempat tertawa ketika ku baca sebuah pendapat dalam bahsa Inggris di internet "Islam adalah agama yang ekslusif, yang menganggap dirinya tindakannya dan agamanya paling benar, dan mengenganggap agama lain itu kafir atau salah"

Apa yang aneh? Kalau kita yakin 100%tentang sesuatu, ya itulah yang paling benar. Sebagai konsekuensinya, "yang tidak benar" itu dianggap salah. Walau tidak sepenuhnya salah, namun ketidakmurnian itu yang apabila diintegrasikan pemahamannya dengan yang benar, maka hasil akhirnya adalah rancu atau secara global dapat disimpulkan salah. Pemahaman yang kurang tepat (apa lagi ini ya)berarti salah. Dalam hal ini adalah agama selain Islam yang "tidak sepenuhnya ajarannya itu salah-dari sudut pandang Islam" Islam punya istilah sendiri yang mengistilahkan orang bukan Islam(), yaitu kafir. Apa yang salah dengan istilah ini? Aku rasa ini hanya sentimen kosa kata saja. Coba kafir diganti dengan kata non-Islam (seperti yang biasa dilafazkan umat Islam di Indonesia)mereka bisa menerima, kan?

Logika ini dapat pula(maksudnya penggunaannya, bukan pemaknaan secara perseorangan) dibalik dengan subjek mereka dan memposisikan Islam dan agama selainnya kafir. Bukan dengan kata-kata yang menentramkan hati, tetapi jauh dari logika seperti "tidak ada manusia kafir, yang ada manusia yang belum menemukan jalan lurus" atau "tidak ada manusia bodoh, yang ada manusia malas", sebagian dari kata-kata seperi itu bahkan mengatasnamakan motivasi.

Menurutku naif banget kata-kata seperti itu. Membohongi namun mencari jalan tengah, jalan yang serba seimbang, diplomatis-puitis, melenakan sekaligus menyenangkan bila didengar, tapi membuang jauh logika kebenaran.

Eh,malah ngelantur. SUMPAH aku tidak mau berkata SARA di sini.
cuma satu kalimat tadi di awal....

4 komentar:

ideoblogger mengatakan...

setelah membaca tulisan mu aku menangkap bahwa ada jiwa-jiwa (lebih tepatnya mungkin perilaku atau sikap) inklusif dari seorang Ajib. saya katakan jiwa atau perilaku karena permasalahan keyakinan agama akan berakhir pada saat itu harus diyakini oleh seseorang. namun akan terus berlanjut dalam tataran praksis dan bersikap, saat keyakinan itu diperhadapkan terhadap yang "lain".

Yang menarik dari tulisan ini adalah analisa kebahasaan yang pas --tidak percuma masuk jurusan ilmu komunikasi, sudah berani menggunakan analisa framning.

Namun yang menjadi pertayaan aku saat membaca argumen kebahasaan itu adalah, jangan-jangan keyakinan kita (?) yang selama ini kita anggap benar dan yang lain kurang benar hanya permasalahan bahasa? Contoh sederhananya: Islam diperhadapkan dengan kata "non-Islam"? Saya tidak berani menyimpulkan bahwa perbedaan itu cuma pada tataran bahasa saja, bukan pada tataran yang substantif.
Tapi kalau menggunakan analisa bahasa sebagai bukti seharusnya hal ini bisa benar, paling tidak perlu peninjauan.

ideoblogger mengatakan...

Eh, kalau tulisan ini tentang LPM kentingan yang tidak homogen, yang tidak pluralistis, terutama masalah keyakinan, aku jadi ingat salah satu elemen pers atau jurnalistik, bahwa dalam sebuah institusi pers harus ada keragaman keyakinan dan pemikiran untuk memastikan bahwa kita tidak sedang mempropagandakan nilai-nilai keyakinan kita yang agamis, ideologis, dsb tanpa kita menyadarinya. ya..itu yang seingatku tentang independensi pers dari bukunya Rossenstill dan Kovack.
So…tulisan ini sepertinya agak sedikit mengarah ke arah situ. semoga kita tidak terjebak dalam pemebelajaran kita tentang pers.

ideoblogger mengatakan...

ohh..iya, komen aku yang tercecer: sepertinya aku juga harus menelan nasehat mu yang terkahir… ThAnkS …

Gunemane Gemblink mengatakan...

mereka yaa mereka, kamu yang kamu, janagan samakan kamu dengan mereka dunk...dunianya saja sudah berbeda, perilaku dan pikirannya pun berbeda

kuatkanlah dirimu bagaiakan angin yag selalu berhembus kemanapun dia ingin melangkah