Rabu, 02 April 2008

Kataku





Kadang sendiri itu bikin kita lebih bertanggungjawab. Sendiri tidak selalu berkonotasi terlena dalam ketiadaan aksi.Karena kita tahu yang kita mau.Kita adalah cara berpikir kita. Kesendirian kita adalah keunikan kita dalam menanggapi kesepian.Itu mengamini bahwa kesenirian itu tidak hampa.Kesendirian memantik kesadaran akan keadaan sekitar.


Kadang pula, Kita bisa bila kita menurut pada jalan pikiran kita sendiri. Jalan pikiran yang tidak mungkin membohongi kita.Jalan pikiran yang tidak teracuni oleh tekanan orang lain maupun, penanaman pikiran oleh orang lain.Yakin bahwa kita sendiri bisa, lebih baik daripada mengangguk penuh yakin setelah mendengar "pemaksaan halus yang menyuruh" oleh orang lain. Tidak ada yang lebih kasihan daripada orang yang lebih mempercayai orang lain daripada diri sendiri. Pertanyaan membuncah hanya sebatas sebagai pengisi kekosongan akan ketidaktahuan pada sesuatu. Dan itu atas prakarsa sendiri.

Aku dalam posisi itu sekarang. Menjadi penurut telah cukup jadi racun manis yang membunuh prakarsa secara perlahan. Bahwa aku lebih percaya pada orang lain daripada aku sendiri. Bahkan pada hal yang aku sudah membuktikannya sekalipun. Parah, setelah aku dimanfaatkan orang lain, dengan menjejali otakku dengan panduan mereka, memposisikan aku pada derajat boneka tak berotak yang bisa dengan mudah mereka kendalikan.

Beruntunglah sel neuronku masih tersisa. Kesadaran muncul, kemandegan pemroduksian ikatan antar sel otak kembali berjalan, dan dengan lantang kini aku suarakan: AKU BUKAN BONEKA KALIAN LAGI! Caraku yang aneh dan kalian anggap bodoh ini adalah jalan terbaik bagiku. Inilah caraku mentuanrumahkan jiwaku sendiri. Agip seorang yang aneh! Sok cerdas! Biarkan kalian bergunjing hingga mulut kalian berbuih. Aku tetap mau seperti ini! Biarlah aku memberanikan diriku mendengar perkataanku sendiri.

Bukan berarti aku akan merendahkan dunia ini, menundukkan dunia engan kuasaku. Tidak, aku bukan makhluk secerdas, sekuat dan setamak itu...

Aku hanya berusaha mensinkronkan jiwa dengan ragaku, yang kalau sebagian dari kalian sadari, telah kalian manfaatkan.

Terimakasih bagi kalian yang dengan dalih tulus menasehatiku. Namun layaknya sebuah nasehat, semuanya tergantung padaku hendak mengindahkannya atau tidak, bukan? Kalian bukan diriku yang dengan tepat bisa memetakan masalahku, kalian bukan ibu-bapakku yang menasehati atas dasar cinta kasih tulus, yang esensinya mampu membuatku hidup sampai sekarang.

Namun kalian adalah temanku, teman yang semoga benar-benar teman sebagaimana definisinya. Kuterima dengan lapang semua nasehat dan saranmu.

Biarkan aku pergunakan sisa neuron dalam otakku untuk membuat ikatan. Aku tak mau pikun dan tergantung dengan buah pikiran orang lain terus, tolong..tolong mengertilah. Bahwa apa yang kalian anggap dan buktikan baik BUKAN berarti baik dan tepat diterapkan padaku. Jangan memandang diriku sebagai anak kecil yang harus diberi tahu bagaimana cara makan yang benar.

Satu saranku, Bagaimana kalau kalian nggak usah dengerin nasehat orang tua kalian setelah baca tulisan ini? Ngapain juga? Toh kalian sudah cukup cerdas untuk menasehatiku? Untuk mengarahkan aku gimana seharusnya bersikap, bertindak, menanggapi dunia sedetil-detilnya tanpa kuminta? Jadilah penasehat spiritual layaknya Gatot Brajamusti yang mencocok hidung Reza Artamevia. Kalian punya otak semua kan? Iya, otak yang sering kalian gunkan untuk mendikte aku itu lho...? Aduh... makhluk cerdas penasehat handal kok mau-maunya dinasehati... BAGAIMANA? Setuju?
Aku hanya sekadar saran lho.....
Tidak mewajibkan...

Tidak ada komentar: