Malas juga ya, ngomong topik yang sama terus...
Ada perkembangan emosional yang berarti...
Tapi bikin otak ga berkembang....
Ah, males mau nulis apaan lagi...
Selasa, 29 April 2008
Kamis, 24 April 2008
Hahahahaha
Aku tak tahu harus memberi judul apa pada postingku kali ini. Walaupun penyakit malasku tetap akut,terbukti dengan belum bersiapnya aku mengerjakan dua tugas mata kuliah untuk besok Senin,aku merasa gembira hari ini! tidur adalah jawaban tetap di akhir ujung kemalasanku.
Adakah hubungan antara sentilan membangun dari seorang teman dengan kegembiraanku hari ini? Menurutku iya!Aku tidak mau bermunafik ria, yang berkoar: "Aku tidak mendramatisasi diri!". Kalo aku memang iya? Jujur aja! Ya dramatisasi yang kadang membumbui tafsirku. Yang namanya bumbu, sedikit, tetapi membawa cita rasa khas bagi masakan. Itulah Agip, masakan yang terbumbui kelebayan.Sedikit, namun sudah mampu mencitrakan diriku dari sudut pandang mereka (banyak yang salah tafsir atau kegeeran mengartikan kata "mereka":padahal maksudku, mereka adalah segolongan orang bertipe sama, jumlahnya banyak, dan kusatukan dengan kata "mereka" karena kesamaan mereka dalam memandangku
Sebaliknya, ketika tingkahku yang dianggap aneh sedangkan bagiku bukan sebuah masalah untuk dipolahkan, aku akan berkoar: "Tolong, bedakan dramatisasi diriku dengan cara aku memandang realitas dan menciptakan suatu realitas!!!!"
Ah apapun lah, kesenanganku hari ini, karena aku mulai berani memulai sebuah pembicaraan, tanpa disangka, respon mereka sangat bagus, maksudnya mereka tidak hanya sekadar sabar mendengarkan omonganku dan berusaha sesegera mungkin berkata "Ndhisik ya, Ji!", tetapi menanggapi dengan enjoy. Enjoy! Yah, hal yang ku cari dalam sebuah pertemanan. Pertemanan yang tidak sekadar kenal. Tapi menganggap berteman denganku adalah sebuah kebutuhan perasaan.
Ah, ternyata teman memang harus saling kritik! Panas memang bagi kupingku yang jarang dikritik secara terbuka.Yang terlalu terbiasa mendengar dari pihak ke tiga. Selebihnya? Sinyalemen yang kuat dari "bahasa" non verbal saja. Sedih, saat orang lain tahu, sedangkan kita tidak tahu. Toh, yang mengakomodasi suatu kritik menjadi sebuah input perubahan kan akau sendiri? Mau dikritik yang tidak masuk akal pun, harus aku hargai, karena aku tidak dapat memaksa orang lain untuk berempati. Berani mengkritik bagiku sekarang adalah wujud penghormatan orang lain kepadaku. Bahwa ada orang yang peduli denganku,Bahwa kepedulian itu sendiri tidak selalu diungkapkan dengan kata manis, layaknya kisah cinta ABG di sinetron. Gombal mukiyo!. Kritikan ampuh temanku yang sedang kkubicarakan ini contohnya, adalah kritikan yang menurutku tidak memahami kebiasaanku. Tapi aku sadar, aku telah tampil "lebay" dan "ngaktor"
(bukan aktor lho!)di hadapan beberapa teman. Walau itu bukan tujuan yang kita kehendaki, tetapi fakta lapangan mengatakan demikian. Sadar, bahwa itu juga yang mempengaruhi orang dalam berprasangka. Aku tak bisa mendiamkannya. Hanya perombakan sedikit keakuanku dan aku mau.
Aku masih butuh banyak belajar
belajar tentang dunia...
Hahahahahahahaha
Sabtu, 19 April 2008
Saat Ini
Aku cuma ingin tidur! Dingin banget! Hmm hari di ujung liburan.
Menunggu keberangkatan dengan merem.
Menunggu keberangkatan dengan merem.
Selasa, 15 April 2008
Untuk Sahabat
Terimakasih,
telah buatku tertarik dan menyadari bahwa selama ini aku berkubang pada dramatisasi diri, bahwa selama ini mulutku berbusa menyebali orang lain, sedang jambanku sendiri kututup rapat. Namun jangan samakan dramatisasiku dengan responku pada dunia. Isi kepalaku masih sanggup membedakannya, dan kuharap kau juga bisa. Kau akan pahami saat kau berada pada posisi marjinal sepertiku. Jangan standarisasikan pikiran orang dalam melihatku!
telah buatku tertarik dan menyadari bahwa selama ini aku berkubang pada dramatisasi diri, bahwa selama ini mulutku berbusa menyebali orang lain, sedang jambanku sendiri kututup rapat. Namun jangan samakan dramatisasiku dengan responku pada dunia. Isi kepalaku masih sanggup membedakannya, dan kuharap kau juga bisa. Kau akan pahami saat kau berada pada posisi marjinal sepertiku. Jangan standarisasikan pikiran orang dalam melihatku!
Jumat, 04 April 2008
Kecenderungannya Kok Mereka?
Bukannya aku SARA, tapi aku mau mengatakan apa yang aku alami.
Mengapa ya proporsi terbesar dari suatu komunitas (bukan komunitas berbadan hukum/resmi) yang meremehkanku (lebih tepatnya lewat kata-kata bergaya inosen) kebanyakan orang dari komunitas SARA "Z"?, parahnya tanpa kuminta sering mengasosiasikan keanehanku dengan agama yang aku anut. Kentara sekali lewat pertanyaan yang mereka ajukan. Nggak ada topik lain yang pantas dibicarakan apa?(Atau aku salah asosiasi? Semoga)(Maaf teman-temanku yang berbeda agama, semoga bukan kalian yang aku maksud)
Takkan kutulis detilnya di sini. Aku adalah penganut Islam yang tidak taat (dibandingkan mereka yang tidak sholat) tapi aku yakin kebenaran esensi agama yang aku anut. Semuanya memang berawal dari tanda tanya atas ritual harian yang aku kerjakan. Buat apa? Jawaban demi jawaban logis aku dapatkan setelah aku bertanya, membaca, dan menggunakan sedikit kemampuan otakku dalam memahaminya. Ternyata agamaku tuh indah! BENAR menurutku.
Aku sempat tertawa ketika ku baca sebuah pendapat dalam bahsa Inggris di internet "Islam adalah agama yang ekslusif, yang menganggap dirinya tindakannya dan agamanya paling benar, dan mengenganggap agama lain itu kafir atau salah"
Apa yang aneh? Kalau kita yakin 100%tentang sesuatu, ya itulah yang paling benar. Sebagai konsekuensinya, "yang tidak benar" itu dianggap salah. Walau tidak sepenuhnya salah, namun ketidakmurnian itu yang apabila diintegrasikan pemahamannya dengan yang benar, maka hasil akhirnya adalah rancu atau secara global dapat disimpulkan salah. Pemahaman yang kurang tepat (apa lagi ini ya)berarti salah. Dalam hal ini adalah agama selain Islam yang "tidak sepenuhnya ajarannya itu salah-dari sudut pandang Islam" Islam punya istilah sendiri yang mengistilahkan orang bukan Islam(), yaitu kafir. Apa yang salah dengan istilah ini? Aku rasa ini hanya sentimen kosa kata saja. Coba kafir diganti dengan kata non-Islam (seperti yang biasa dilafazkan umat Islam di Indonesia)mereka bisa menerima, kan?
Logika ini dapat pula(maksudnya penggunaannya, bukan pemaknaan secara perseorangan) dibalik dengan subjek mereka dan memposisikan Islam dan agama selainnya kafir. Bukan dengan kata-kata yang menentramkan hati, tetapi jauh dari logika seperti "tidak ada manusia kafir, yang ada manusia yang belum menemukan jalan lurus" atau "tidak ada manusia bodoh, yang ada manusia malas", sebagian dari kata-kata seperi itu bahkan mengatasnamakan motivasi.
Menurutku naif banget kata-kata seperti itu. Membohongi namun mencari jalan tengah, jalan yang serba seimbang, diplomatis-puitis, melenakan sekaligus menyenangkan bila didengar, tapi membuang jauh logika kebenaran.
Eh,malah ngelantur. SUMPAH aku tidak mau berkata SARA di sini.
cuma satu kalimat tadi di awal....
Mengapa ya proporsi terbesar dari suatu komunitas (bukan komunitas berbadan hukum/resmi) yang meremehkanku (lebih tepatnya lewat kata-kata bergaya inosen) kebanyakan orang dari komunitas SARA "Z"?, parahnya tanpa kuminta sering mengasosiasikan keanehanku dengan agama yang aku anut. Kentara sekali lewat pertanyaan yang mereka ajukan. Nggak ada topik lain yang pantas dibicarakan apa?(Atau aku salah asosiasi? Semoga)(Maaf teman-temanku yang berbeda agama, semoga bukan kalian yang aku maksud)
Takkan kutulis detilnya di sini. Aku adalah penganut Islam yang tidak taat (dibandingkan mereka yang tidak sholat) tapi aku yakin kebenaran esensi agama yang aku anut. Semuanya memang berawal dari tanda tanya atas ritual harian yang aku kerjakan. Buat apa? Jawaban demi jawaban logis aku dapatkan setelah aku bertanya, membaca, dan menggunakan sedikit kemampuan otakku dalam memahaminya. Ternyata agamaku tuh indah! BENAR menurutku.
Aku sempat tertawa ketika ku baca sebuah pendapat dalam bahsa Inggris di internet "Islam adalah agama yang ekslusif, yang menganggap dirinya tindakannya dan agamanya paling benar, dan mengenganggap agama lain itu kafir atau salah"
Apa yang aneh? Kalau kita yakin 100%tentang sesuatu, ya itulah yang paling benar. Sebagai konsekuensinya, "yang tidak benar" itu dianggap salah. Walau tidak sepenuhnya salah, namun ketidakmurnian itu yang apabila diintegrasikan pemahamannya dengan yang benar, maka hasil akhirnya adalah rancu atau secara global dapat disimpulkan salah. Pemahaman yang kurang tepat (apa lagi ini ya)berarti salah. Dalam hal ini adalah agama selain Islam yang "tidak sepenuhnya ajarannya itu salah-dari sudut pandang Islam" Islam punya istilah sendiri yang mengistilahkan orang bukan Islam(), yaitu kafir. Apa yang salah dengan istilah ini? Aku rasa ini hanya sentimen kosa kata saja. Coba kafir diganti dengan kata non-Islam (seperti yang biasa dilafazkan umat Islam di Indonesia)mereka bisa menerima, kan?
Logika ini dapat pula(maksudnya penggunaannya, bukan pemaknaan secara perseorangan) dibalik dengan subjek mereka dan memposisikan Islam dan agama selainnya kafir. Bukan dengan kata-kata yang menentramkan hati, tetapi jauh dari logika seperti "tidak ada manusia kafir, yang ada manusia yang belum menemukan jalan lurus" atau "tidak ada manusia bodoh, yang ada manusia malas", sebagian dari kata-kata seperi itu bahkan mengatasnamakan motivasi.
Menurutku naif banget kata-kata seperti itu. Membohongi namun mencari jalan tengah, jalan yang serba seimbang, diplomatis-puitis, melenakan sekaligus menyenangkan bila didengar, tapi membuang jauh logika kebenaran.
Eh,malah ngelantur. SUMPAH aku tidak mau berkata SARA di sini.
cuma satu kalimat tadi di awal....
Rabu, 02 April 2008
Kataku
Kadang sendiri itu bikin kita lebih bertanggungjawab. Sendiri tidak selalu berkonotasi terlena dalam ketiadaan aksi.Karena kita tahu yang kita mau.Kita adalah cara berpikir kita. Kesendirian kita adalah keunikan kita dalam menanggapi kesepian.Itu mengamini bahwa kesenirian itu tidak hampa.Kesendirian memantik kesadaran akan keadaan sekitar.
Kadang pula, Kita bisa bila kita menurut pada jalan pikiran kita sendiri. Jalan pikiran yang tidak mungkin membohongi kita.Jalan pikiran yang tidak teracuni oleh tekanan orang lain maupun, penanaman pikiran oleh orang lain.Yakin bahwa kita sendiri bisa, lebih baik daripada mengangguk penuh yakin setelah mendengar "pemaksaan halus yang menyuruh" oleh orang lain. Tidak ada yang lebih kasihan daripada orang yang lebih mempercayai orang lain daripada diri sendiri. Pertanyaan membuncah hanya sebatas sebagai pengisi kekosongan akan ketidaktahuan pada sesuatu. Dan itu atas prakarsa sendiri.
Aku dalam posisi itu sekarang. Menjadi penurut telah cukup jadi racun manis yang membunuh prakarsa secara perlahan. Bahwa aku lebih percaya pada orang lain daripada aku sendiri. Bahkan pada hal yang aku sudah membuktikannya sekalipun. Parah, setelah aku dimanfaatkan orang lain, dengan menjejali otakku dengan panduan mereka, memposisikan aku pada derajat boneka tak berotak yang bisa dengan mudah mereka kendalikan.
Beruntunglah sel neuronku masih tersisa. Kesadaran muncul, kemandegan pemroduksian ikatan antar sel otak kembali berjalan, dan dengan lantang kini aku suarakan: AKU BUKAN BONEKA KALIAN LAGI! Caraku yang aneh dan kalian anggap bodoh ini adalah jalan terbaik bagiku. Inilah caraku mentuanrumahkan jiwaku sendiri. Agip seorang yang aneh! Sok cerdas! Biarkan kalian bergunjing hingga mulut kalian berbuih. Aku tetap mau seperti ini! Biarlah aku memberanikan diriku mendengar perkataanku sendiri.
Bukan berarti aku akan merendahkan dunia ini, menundukkan dunia engan kuasaku. Tidak, aku bukan makhluk secerdas, sekuat dan setamak itu...
Aku hanya berusaha mensinkronkan jiwa dengan ragaku, yang kalau sebagian dari kalian sadari, telah kalian manfaatkan.
Terimakasih bagi kalian yang dengan dalih tulus menasehatiku. Namun layaknya sebuah nasehat, semuanya tergantung padaku hendak mengindahkannya atau tidak, bukan? Kalian bukan diriku yang dengan tepat bisa memetakan masalahku, kalian bukan ibu-bapakku yang menasehati atas dasar cinta kasih tulus, yang esensinya mampu membuatku hidup sampai sekarang.
Namun kalian adalah temanku, teman yang semoga benar-benar teman sebagaimana definisinya. Kuterima dengan lapang semua nasehat dan saranmu.
Biarkan aku pergunakan sisa neuron dalam otakku untuk membuat ikatan. Aku tak mau pikun dan tergantung dengan buah pikiran orang lain terus, tolong..tolong mengertilah. Bahwa apa yang kalian anggap dan buktikan baik BUKAN berarti baik dan tepat diterapkan padaku. Jangan memandang diriku sebagai anak kecil yang harus diberi tahu bagaimana cara makan yang benar.
Satu saranku, Bagaimana kalau kalian nggak usah dengerin nasehat orang tua kalian setelah baca tulisan ini? Ngapain juga? Toh kalian sudah cukup cerdas untuk menasehatiku? Untuk mengarahkan aku gimana seharusnya bersikap, bertindak, menanggapi dunia sedetil-detilnya tanpa kuminta? Jadilah penasehat spiritual layaknya Gatot Brajamusti yang mencocok hidung Reza Artamevia. Kalian punya otak semua kan? Iya, otak yang sering kalian gunkan untuk mendikte aku itu lho...? Aduh... makhluk cerdas penasehat handal kok mau-maunya dinasehati... BAGAIMANA? Setuju?
Aku hanya sekadar saran lho.....
Tidak mewajibkan...
Langganan:
Postingan (Atom)