Rabu, 14 Mei 2008

Salah Satu Tipe Manusia Yang (Harus) Aku Pahami


Bermula disatukan dalan satu forum rembug(ben ora ngetarani), dalam kondisi malas berat, aku (awalnya terpaksa) masuk dalam kelompok ini. Berat, karena aku tidak sepakat dalam berbagai hal(alasan tidak kutilis disini). Namun, satu alasan mengapa aku mau terus berjalan adalah keinginanku dalam mencari pengalaman hidup. Mengutip salah satu teman dalam forum tersebut "Pasti ada celah masalah yang bisa kita ungkap". Ya, aku setuju. Dalam artian aku mengakui kelemahan dan ketidakotentikanku sebagai manusia. Segalanya menjadi mungkin. Kali ini motivasinya aku terima. Segala alasan logis ku sorokkan kembali dalam otakku. Cukup logis untuk sekadar lebih ramah pada kemalasan untuk berusaha. Hargai keputusan, tundukkan ego, dan terus berjalan selama itu memungkinkan.

Forum dimulai, kami berembug, tidak ada yang spesial, selain debat beberapa senior. Aku cupup duduk manis, terdiam, dan mendengarkan. Tapi otakku tidak istirahat. Aku merasa berada pada dua posisi berlawanan, yang saling menguatkan. Layaknya para seniorku yang terbagi menjadi dua kutub utama. Posisiku dilematis, aku bisa maklum pada pendapat salah satu kubu, laiknya aku berada pada posisi pemikirannya. Namun seiring dengan jalannya debat ini, sepertinya aku tidak konsisten, kalau aku boleh bilang begitu, aku berada posisi kedua belah kubu. Saat itu, rasanya aku tahu apa yang masing-masing mereka pikirkan. Kemakluman dalam diam mungkin adalah cara terbijak menyikapinya. Aku-yang sifatnya tidak mau mengambil resiko ini-condong pada kubu yang menganggap "tidak ada masalah". Namun bagian lain dari diriku menginginkan aku terus tinggal, dan hanya bermodalkan alasan "pasti ada masalah, tidak ada yang tidak mungkin", aku mengalahkan belasan alasan logis "tidak ada masalah".

Masuk ke topik, ada satu orang yang selama ini kukenal kritis, bergelora dalam setiap ucapannya, malah memilih diam. Diamnya berbeda dengan diamku. Kenapa aku sampai sok tahu? Ketika para pendiam termasuk aku berbicara di penghujung diam,minimal menimpali, mengemukakan pendapatnya, demi sebuah langkah lanjut yang "lebih baik", orang itu malah mengakhiri kebisuanya lewat lontaran pendek: "Sudah selesai? Dari tadi tidak ada hasilnya..."

Maknanya menohok menurutku, disaat semua sedang serius berproses menuju penemuan titik cerah "mau dimana ****** kita?", Orang itu hanya menunggu sekian lama untuk sebuah keputusan, tanpa menjebloskan dirinya dalam PROSES forum. Keputusan tanpa melibatkan dirinya. Aku tak tahu ada apa di balik sikap janggalnya. Matanya layu tak bersemangat. Menurutku, sepenggal katanya di akhir forum itu tidak level terhadap citra intelegensi yang selama ini tersebar di organisasi.

Masih terngiang di benakku keinginan besarnya untuk mengubah budaya organisasi untuk lebih serius, menempatkan kelakaran pada tempat dan porsinya. Penghargaan pada pihak berkepentingan, dan seabrek luahan kekritisan menyikapi kami selama ini.

Satu tanda tanya besar masih ada hingga kini..Mengapa dia berbuat begitu? Seperti bukan dirinya. Memang, menurutku manusia ga harus terus konsisten. Ia harus pandai menyesuaikan dengan keadaan,bukan berarti ia mencundangi idealisme dirinya, namun ada kalanya seseorang menjadi pribadi yanng lain, pribadi yang mungkin terlihat tolol, serius, rapuh, riang, atau apapun itu yang berbeda dari sifat seseorang yang biasanya tampak. Menjadi salah satu dirinya yang lain. Mungkin akau dsudah menjawab pertanyaanku di awal paragraf ini.

Satu hal yang aku pelajari hari itu(diluar substansi forum,janganlah jadi orang yang gumunan,, tiap orang punya sisi lain yang kita tidak tahu, jangan pernah memformulasikan suatu cara seakan kita tahu langkah apa yang cocok untuk memberlakukan seseorang. Hanya butuh toleransi dan ketundukkan hati. Budayakanlah bertanya. Kita tidak bisa terus nyaman dalam praduga kecuali menanyakan langsung. Bersikaplah wajar pada orang. Bukan menggeneralisasikan, tapi walau sifat orang berbeda, ada kalanya menginginkan treatmen yang sama dengan yang orang lain terima. Kaum Afro-Amerika pun meminta hak yang sama dengan kaum Kaukasian-Amerika untuk sebuah hak asazi. Walaupun hakikatnya mereka berbeda, baik dalam level pribadi, golongan, asosiasi, bahkan ras. Secara ilmiahpun, tingkat intelegensi rata-rata ras-ras di dunia ini berbeda(Aku baca di salah satu artikel Ninok Leksono pada harian Kompas. Namun demi alasan hak azasi, sang ilmuan meminta maaf dan menarik riset ILMIAHNYA. Sebuah pencundangan ilmiah yang bisa kita tolerir bersama.

2 komentar:

ideoblogger mengatakan...

Selamat Anda telah menemukan "orang" yang laik untuk diteliti supaya Anda sendiri tidak tersesat...Asyik ya..punya teman kayak gitu,...Sayang aku bukan anak psikologi, pasti tu anak aku jadikan "objek" penelitian...By the way siapa tuk anak yang "misterius"(berdasarkan tulisanmu)...

Gunemane Gemblink mengatakan...

okelah mari kita buat poling dan penelitian kualitatif tentang kasdaran dan perilaku semua anggota kentingan...kayaknya bagus deh kalop dijadiin buku heheheee